Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Mei 2016

Secret, Love, & Scar.

"Saya risih, Lan, lama-lama."
Ardion membenamkan mukanya ke bantal. Lelah. Masih ada rasa capek yang tersisa dan menggeluti tubuhnya saat ini. Juga alam bawah pikirannya yang terus-terusan dihantui oleh sosok Felich. Untungnya kasur berpola zig-zag di kost-kostan Dilan membuat dirinya sedikit nyaman. Malam ini malam minggu dan Ardion menginap di kamar kost Dilan.
"Cantik Felich itu. Baik. Cerdas pula. Kenapa malah kau jauhi dia?"
Tentang Felich. Teman sekelas Ardion dan Dilan. Sedikit mirip Dian Sastro jika dilihat sekilas. Tinggi semampai bak peragawati. Hanya saja terlalu sederhana penampilannya jika harus berurusan dengan laki-laki. Hidungnya mancung. Cukup sempurna untuk ukuran siswi kelas XI SMA. Tapi masih dibawah standar untuk playboy seperti Ardion.
"Felich itu sangat pendiam, Lan. Saya heran bahkan dia tidak pernah terlihat sedang berkumpul dengan teman-temannya. Semuanya dilakukan serba sendiri. Kecuali kerja kelompok. Saya kira dia tidak punya teman, kamu tahu?"
Dilan manggut-manggut sambil memetik gitar akustiknya. Ada gumaman pelan yang mengiringi nadanya. Sepertinya lelaki keturunan orang Sumatera dengan nama Dilan itu tengah berusaha keras untuk bersenandung dalam hati.
"Jadi yang kau maksud itu. Kau lebih suka perempuan macam si Nettha itu? Punya banyak sekali teman karena dia anak pejabat. Tapi banyakan teman laki-laki daripada perempuan. Mau kau suatu saat. Pacaran sama dia, eh, jalannya malah sama orang lain. Camkan itu, Yon. Sudah banyak yang cerita ke aku tentang si Nettha itu. Dari sisi negatif semua lagi yang paling banyak."
Ardion meninju bahu Dilan. Dilan terbahak-bahak.
"Terserah kau sajalah, Yon. Sudah terlanjur kasmaran mau bagaimana lagi? Haha."
***
"Nggak pulang Fe?"
Felich berpaling menatap Dean. Ada sedikit rambutnya yang berkibar saat kepalanya itu menoleh. Selalu sama jawabnya saat seseorang yang dia kenal bertanya tentang ini. Maka dengan senyuman tipis ia menjawab.
"Nanti dulu. Ada yang saya tunggu."
Masih di posisinya. Felich berdiri. Tak jauh dari gerbang sekolah. Tak lama. Ada sesuatu yang menghangat di hatinya saat sosok itu muncul. Tatapan tulus Felich pun mengikutinya. Ada sedikit kesal yang tercipta saat sosok itu menghilang di balik kerumunan anak lelaki sebayanya. Tetapi kemudian sosok itu kembali tertangkap matanya dan semua rasa itu kembali. Sayangnya harus dia relakan saat sosok itu harus menaiki angkutan umum kemudian pulang. Menghilang. Namun masih ada matahari yang selalu menyertai hadirnya sosok itu kembali. Kembali menjadi Ardion yang bukan milik Felich. Dan akhirnya Felich pulang.
Selalu begitu. Selalu ia menunggu Ardion pulang. Dari jauh. Tak berani menyapa. Menatapnya pun harus malu-malu di balik pohon palem yang tumbuh di depan sekolah. Pohon palem itu sudah berapa lama kira-kira umurnya? Pohon itu, semoga masih ada sampai Felich tua nanti. Karena hanya pohon palem itulah, saksi bisu cinta Felich yang tak tersampaikan dan pastinya tak akan terbalaskan.
***
Ku coba, merangkai kata cinta
walaupun, ku bukanlah, pujangga yang bisa,
tuliskan kata-kata yang indah
nyatanya tak ada nyali untuk ungkapkan
i wanna love u like the hurricane
i wanna love u like the mountain rain
so wild so pure, so strong and crazy for you
andai matamu melihat aku
terungkap semua isi hatiku
alam sadarku, alam mimpiku
semua milikmu andai kau tahu
andai kau tahu
rahasia cintaku ...
***
Ada setangkai mawar merah. Harum. Ardion sengaja menyimpannya di balik jaketnya. Hari ini. Ada sejuta rasa yang akan terungkap. 29 Mei. Hari senin. Hari yang cukup baik untuk mengawali semuanya. Mengawali cintanya.
Si cantik Nettha itu sedang duduk manis di depan ruang kelasnya. Tertawa. Dengan tiga orang perempuan yang menyertainya. Rambutnya diikat. Ardion bisa melihat anting-anting doraemon yang dia pakai di kedua telingnya. Perempuan ini selalu suka doraemon. Karena itu Ardion juga menyiapkan doraemon spesialnya selain mawar merah yang kini ia genggam di balik jaketnya.
"Permisi. Boleh saya pinjam Netthanya sebentar."
Ketiga perempuan di sisi Nettha sedikit terkejut saat Ardion yang berparas rupawan itu tiba-tiba berdiri di depan mereka. Tidak dengan Nettha. Sudah jauh-jauh hari dia membayangkan tentang ini. Dan sepertinya akan menjadi nyata untuk sekarang. Ada rona merah di pipinya. Matanya berbinar-binar. Mereka duduk berdua saat ketiga teman Nettha itu masuk ke kelas.
"Kamu nunggu saya?"
Nettha tertawa.
"Tidak. Tapi saya menunggu apa yang akan kau katakan."
Raut wajah Nettha kini serius. Matanya tajam menatap Ardion. Perlahan. Sampailah tangan kanan Nettha di genggaman kedua tangan Ardion. Lalu keduanya saling senyum. Malu-malu.
"Boleh minta bantuannya, Nettha?"
"Boleh. Bantu apa?"
Ardion tersenyum lebih lebar. Kali ini dengan menampakkan deretan gigi putih bersihnya. Dentuman keras di jantungnya semakin menjadi-jadi. Ada desisan pelan yang terdengar saat dia menarik napas .Kemudian dengan berani dia ungkapkan makna terselubung itu. Bersamaan dengan munculnya mawar merah di balik jaket hoodie kesayangannya.
"Saya pernah berjanji kepada Tuhan kalau Irine Nettha Imako Haris akan menjadi milik saya. Dan saya juga berjanji akan melindunginya selalu. Jadi, kamu mau bantu menepati janji saya?"
Nettha tertawa. Lelehan air mata tiba-tiba jatuh dari kedua mata indahnya. Ardion dan Nettha itu sudah lama saling cinta. Sayangnya tak ada yang benar-benar mampu untuk menjelaskan perasaan mereka masing-masing. Namun kali ini semua tercurah tanpa batas. Ada peluk yang kemudian menyambut tubuh Nettha. Peluk yang sama yang akan dia rasakan selanjutnya, keesokan harinya, atau selamanya.
"Janji adalah hutang. Dan saya tidak akan membiarkan kamu punya hutang dengan Tuhan."
Mawar merah itu kini berpindah tangan.
***
"Boleh kubantu kau, Fe?"
Felich sedang sibuk. Ada puluhan lembar tugas yang harus dia rampungkan sekarang. Bu Lodia akan menjatuhkan hukuman pancung padanya kalau tugas itu tidak rampung sampai esok hari. Benar-benar tanpa ampun.
"Aku dah selesai itu bab tiga."
Felich memutar kepalanya. Dilan dengan senyum tulus ingin membantu kini telah duduk siap di bangku samping Felich. Tawarannya cukup menggiurkan untuk tangan Felich yang sudah mulai patah rasanya. Felich menyodorkan sebagian kertas pada Dilan. Dengan cekatan Dilan langsung mengambil pulpen di sakunya lalu ikut tenggelam mengerjakan tugas milik Felich.
"Kemana Dion, Lan?"
Nettha tiba-tiba muncul dari balik pintu kelas dan langsung menghampiri Felich dan Dilan. Raut mukanya cemas. Atau bisa saja pura-pura cemas. Tetapi bukan ekspresi atau apa pun. Kehadiran Nettha di dekat Felich membuat Felich sedikit tidak nyaman. Dia berulang kali mencoba untuk tetap berkonsentrasi pada tugasnya. Namun, tetap ada sesuatu yang mengganjal. Atau lebih tepatnya mengganggu. Atau apalah.
"Ardion, Ya? Uh tak tau pula aku ini, Nett. Terakhir dia bilang dia memang tak masuk sekolah hari ini. Mungkin ke Bali lagi. Papanya kan suka gitu. Kalau ajak jalan-jalan keluarga suka dadakan."
Nettha menggerutu. Dia berkeluh kesah pada Dilan. Sejak kemarin malam Ardion tak ada kabar. Tanpa pamit. Hanya menghilang begitu saja. Seperti ditelan bumi. Empat belas kali kata Nettha, dia mencoba menghubungi handphone milik Ardion. Tak ada jawaban.
"Jangan khawatir begitu, Nett. Kau kan pacarnya. Mana ada itu lelaki yang tak kasih kabar ke perempuan miliknya. Kau tunggu sajalah, Nett."
Sedikit retakan tercipta di hati Felich yang rapuh saat mendengar ucapan Dilan. Teriakan putus asa menggema di dalamnya. Nettha pergi dan Dilan masih membantu disampingnya. Tetapi Felich merasa ini semua tak ada gunanya. Maksudnya hidup yang dia jalani ini. Semua begitu palsu. Ada begitu banyak keadilan. Begitu banyak sampai-sampai Felich harus menangis setiap saat. Tentang Ardion. Sebegitu sakitnya kah? Padahal tadi hanya beberapa baris kata. Namun menghujam tepat.
***
"Selamat pagi."
Tubuh Nettha bergetar hebat. Rindunya sudah terlampau memuncak. Tak lagi dapat dia tahan. Pipi tirus Nettha merona. Baru saja dia bangun tidur. Handphonenya berdering. Dan begitu gembiranya dia saat nama Ardion yang muncul di layarnya.
"Kemana saja kamu, Yon?! Saya rindu."
Di ujung telepon. Tawa Ardion meledak. Dia juga begitu. Merasakan hal yang sama. Rindu. Atau apapun yang ada kaitannya dengan rindu. Seharian penuh kemarin. Maka dua insan yang sedang dilanda asmara itu menikmati pagi dengan sejuta rasa. Hanya mereka berdua.
"Semalam saya berpimpi tentang kamu, Nett. Tentang kita. Saya harap kan jadi nyata. Sungguh. Indah sekali."
Jadi malam itu setelah seharian penuh mengelilingi disney world dengan keluarganya. Ada satu kesempatan di hotel saat Ardion tidur dan menyendiri. Memikirkan Nettha. Rindu. Tetapi sudah terlalu lelah jika harus menelepon Nettha malam itu juga. Untuk dua hari ke depan dia masih harus tinggal di sana. Di negeri orang. Pastinya akan selalu ada nama Nettha di log panggilannya yang paling atas.
Dering teleponku membuatku tersenyum di pagi hari
Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi
Entah mengapa aku merasakan hadirmu di sini
Tawa candamu menghibur saat ku sendiri
Aku di sini dan kau di sana
Hanya berumpa via suara
Namun ku selalu menunggu saat kita akan berjumpa
Meski kau kini jauh di sana
Kita memandang langit yang sama
Jauh di mata namun dekat di hati...
"Jangan mendua."

Nettha itu perempuan. Wajar kalau terlalu berlebihan perasaannya. Setiap kali Ardion itu jauh darinya. Minimal selangkah saja. Ah tidak. Sejengkal. Selalu ada yang dia khawatirkan. Maka setiap kali dia khawatir. Kemudian tak ada kabar baik yang dia dengar dari apa yang dia khawatirkan. Tangannya mulai bergerak. Meremas sesuatu yang ada di dekatnya dengan gemas. Mondar-mandir tidak karuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar