Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Maret 2016

Never Ending Story : Romansa Merah Putih

1. Deantthe Mahuru
Aku memainkan pulpen di jemari tangan kananku. Sembari sibuk memikirkan jawaban soal terakhir pr bahasa indonesiaku. Komang yang duduk di sebelahku juga sedang sibuk. Menanam matahari dan repeater di dalam game Plant vs Zombie yang ia mainkan di smartphone miliknya. Game virtual bertema pertarungan tanaman dengan zombie tersebut memang sedang nge tren di kalangan teman sekelasku selain game COC dan Death Trigger. Tapi aku tidak begitu mengerti tentang permainan-permainan tersebut. Aku bukan tipe orang yang terlalu menggilai game.
“Wah, tidak biasanya, ya. Ibu Tris datang terlambat. Ini sudah lewat 20 menit sejak bel masuk berdering”, Komang mulai bersuara. Ia mematikan smartphone nya dan mengalihkan pandangan ke pintu kelas.
“Ah, mungkin sedang ada rapat guru, Bli. Atau memang sedang ada kepentingan dan tidak masuk. Memangnya kenapa?” aku masih telaten menulis jawaban soal pr-ku yang sangat panjang.
“Tidak biasa saja. Beliau kan jarang terlambat masuk kelas. Beliau juga jarang absen”.
Aku mengangguk menyetujui pernyataan Komang. Bu Tris, guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas kami itu memang sangat displin dan selalu memperhatikan waktu. Ia jarang meninggalkan kelas atau tidak masuk kelas kecuali jika ada kepentingan yang benar-benar serius atau jika ia sedang jatuh sakit. Aku pun merapikan buku tugasku yang telah kuselesaikan semua soal-soalnya.
Seketika kelasku yang semula ramai mendadak hening. Terdengar suara langkah kaki dari arah lorong depan kelas kami. Kami pun segera menyiapkan pelajaran bahasa Indonesia yang akan berlangsung saat Aji yang duduk paling dekat dengan pintu kelas memberitahu bahwa Bu Tris telah datang.
“Assalamualaikum. Selamat pagi semuanya”, sapa Bu Tris ramah.
Kami menjawab salam dan sapaan dari Bu Tris. Bu Tris datang dengan diikuti seorang anak laki-laki bertubuh jangkung yang berjalan mengekor di belakangnya. Seragam anak itu agak sedikit berbeda dengan seragam yang kami kenakan. Rupanya dia adalah siswa baru yang masuk ke sekolah ini dan ditempatkan di kelas kami, kelas XI MIA 7.
Anak lelaki itu memiliki rambut hitam lurus yang terkesan berantakan. Ia berhidung mancung dan berkulit putih pucat sama sepertiku. Matanya biru dan senyumnya manis. Sangat manis ditambah dengan lesung pipit yang membuat hati seluruh teman perempuan dikelasku meleleh saat melihatnya.
“My name is Deantthe Mahuru. Kalian bisa panggil aku Dean. Aku pindah baru seminggu yang lalu dari Jakarta. My old house was in Pancoran, Jakarta Selatatan. Now, I live in Ciputra housing, Sawojajar. My mother name is Inggrit Sesalia Preechaya. My father name is Rezza Mahuru. Oh ya, Aku juga punya kakak laki-laki namanya Rain Rayas Mahuru. Panggilannya 'hujan'. Hobiku berolahraga. Semua olahraga aku suka, tetapi aku paling suka marathon. Umm, and also I like England very much. Kakekku seorang pelari marathon kebanggaan Inggris. Suatu saat aku juga akan menjadi seperti beliau . Umm, kurasa cukup.”
Bu Tris mengomando kami untuk bertepuk tangan seusai Dean memperkenalkan dirinya dengan panjang lebar barusan. Kami pun langsung bertepuk tangan. Setelah itu Bu Tris meminta kami untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada Dean yang dimaksudkan agar kami bisa mengenalnya dengan lebih dekat. Tak tanggung-tanggung semua teman perempuan di kelasku langsung memberondongi Dean dengan beberapa pertanyaan yang kian lama makin nyeleneh, seperti; “Rumah Dean di perumahan Ciputra sebelah mana?”, “Dean suka makan spagetthi nggak?”, “Dean suka tipe cewek yang kayak gimana?”, Dean sudah punya pacar belum?”. Pertanyaan terakhir membuat Dean agak sedikit kikuk. Tetapi akhirnya Dean menjawab,”Belum.”
“Wah dia belum punya pacar.” Kata Ganesh yang duduk tepat di belakangku. Ganesh menyikut punggungku. Seperti mengode agar aku mencoba untuk mendekati Dean. Ganesh juga salah satu teman curhatku selain Komang yang merupakan sahabatku dari kecil. Ganesh tahu kalau selama ini aku belum pernah barpacaran dengan siapa pun. Dan selama ini aku belum pernah benar-benar menemukan seseorang yang karakternya benar-benar pas denganku untuk dijadikan pacar.
“Aku belum tahu sifatnya”, sergahku pada Ganesh sembari tersenyum malu-malu.
“Berarti kalau sudah tahu sifatnya mau dong?” Ganesh menggoda lagi.
“Mau aja. Hihi. Asalkan dia bukan playboy seperti kamu, Nesh!” Aku menyindir Ganesh. Ganesh pun tertawa.
“Sudah! Kalian ini kok malah ribut sendiri”, Komang menyela.
Aku dan Ganesh langsung diam tetapi masih dengan tawa cekikikan. Di depan, Dean dan Bu Tris masih berbincang mengenai peraturan kelas. Bu Tris juga memperkenalkan aku sebagai ketua kelas dan Ganesh sebagai wakilnya. Juga,  Arsyi Manggali serta Ferasna Dwisang sebagai sekretaris dan Pragita Ayu serta Lintang Faustina Ega Azalia sebagai bendahara.
Saat itu entah benar atau tidak. Aku bisa melihat Dean selalu mencuri-curi pandang ke arahku. Haha, tidak. Mungkin dia sedang memandang ke jendela di sebelah atasku yang terbuka. Ganesh kembali menykiut punggungku.
“Wah dewi fortuna sedang berpihak padamu. Dia pasti akan memilih untuk duduk denganmu.”
Aku mengalihkan pandangan ke arah Dean.
“Umm, can I sit beside her?”
Ale?! Dean menunjuku. Ganesh sekali lagi menyikut punggungku. Seisi kelas memandangku. Aku bertanya dengan terbata-bata dalam hati ada apa sebenarnya ini? Aku terdiam dengan mulut menganga. Sementara Dean tersenyum di depan.
“Cie!!!” seisi kelas langsung menyoraki.
Komang bersiap pindah. Aku memegangi lengan Komang sambil menatapnya dengan mulut yang masih menganga. Ganesh langsung berusaha menepis cengkraman tanganku di lengan Komang. Ganesh bersikeras menyuruh Komang untuk cepat pindah dan duduk dengan Aji di depan agar Dean bisa segera duduk di sampingku.
Komang pun pindah dan duduk dengan Aji di depan. Dean berjalan ke arahku diiringi dengan sorakan dan suitan teman-teman sekelasku. Tentu saja Ganish yang menyoraki paling keras. Dean duduk di dekatku dan langsung melemparkan senyum padaku. Ia tidak membawa tas. Bu Tris langsung meminta keadaan untuk dinormalkan seperti biasa karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai.
“Hai? Umm, kamu Aisha, kan? Si ketua kelas itu?”
Aku hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman. Aku merasa sedikit tidak nyaman. Haha. Ataukah mungkin ini yang dinamakan salah tingkah. Aku tidak tahu.
“Hai bro! Aku Ganesh Keenan Riordan”, Ganesh mengajak Dean berkenalan.
“Oh ya, Hai! Maaf siapa? Ga-ganas?”
“Ngaco! Ganesh bukan ganas. Tahu kan Ganesha yang patung gajah orang hindu itu?” Ganesh tertawa.
“Oh sorry. I understand. So you’re Hindus?”
“Bukan. Aku Katolik”.
“Lah? Haha”, Dean tertawa.
Kemudian kami sama-sama memperhatikan Bu Tris yang menerangkan tentang kata baku. Aku memandang sejenak ke jendela di tembok dekat tempat dudukku. Angin semilir masuk melewatinya. Hembusannya sedikit membuat lembaran kertas-kertas warna kecil bertuliskan berbagai kata baku di mejaku bergerak-gerak.
“Aisha… Can I borrow your note?” Dean berbisik di dekat telingaku.
“Ah, ya. Boleh”.
Aku buru-buru mengeluarkan buku tulis bergambar Doraemonku di dalam tas di dekat kakiku.  Aku langsung memberikannya pada Dean. Dean tersenyum dan berterimakasih padaku. Aku mengijinkannya membawa pulang buku tulisku karena memang aku masih punya banyak buku kosong di rumah.
“Mau pinjam pulpen?” tawarku.
Dean menggeleng. Ia mengeluarkan pulpen miliknya dari saku dadanya dan menunjukkannya padaku sambil tersenyum. Lalu ia segera bersiap untuk mencatat hal penting tentang kata baku yang sudah diterangkan oleh Bu Tris tadi. Tetapi, saat ia menggoreskan ujung pulpennya ke buku. Tinta dari pulpennya tidak melekat di lembarannya. Ia menggoreskannya lagi dan lagi dengan sedikit penekanan kuat yang dipaksakan. Kemudian ia pun menyerah. Aku tertawa lalu menyerahkan pulpen milikku pada Dean. Mungkin sekarang aku sudah bisa nyaman berteman dan dekat dengan Dean tanpa harus salah tingkah.
“Kamu sangat pengertian. Terimakasih”.
Sebelum Dean menulis, ia sempat membalik bukunya dan mengamati cover bukunya yang bergambar Doraemon. Lalu memandangku.
“Ada apa?” tanyaku. Aku berpikir bahwa mungkin ia tidak suka Doaremon atau apa.
“Sangat pengertian ditarik kembali”, Dean tertawa.
“Eh, kenapa?” aku tertawa. Padahal aku sudah terbang sangat tinggi entah kemana saat tadi Dean menyebutku sangat pengertian.
“Tolong tuliskan namaku. Tulisanku jelek”, Dean tertawa lagi.
Dengan senang hati aku menuliskan DEANTTHE MAHURU, XI MIA 7, B.INDONESIA. Di kolom identitas di cover buku tulis miliknya. Dean tersenyum melihat tulisanku. Ia berkata bahwa tulisanku adalah tulisan paling indah di dunia. Tentu saja itu hanya basa-basi karena aku sudah membantunya menuliskan identitasnya. Tulisanku tidak jauh berbeda dengan tulisan teman-teman yang lain. Dean pun mulai mencatat. Dan saat aku amati tulisannya juga tidak terlalu jelek sebenarnya. Tapi barusan ia memintaku untuk menulsikan namanya karena tulisannya jelek. Aku tertawa. Dasar Dean.

***
2. GOR Ken Arok
Lenggang. Suasana yang tercipta pagi ini saat aku mengunjungi GOR Ken Arok. Cuaca yang agak sedikit mendung juga disponsori oleh angin kencang berhawa dingin yang sesekali melintas. Menciptakan suatu gerakan tarian dari sekian banyak ranting dan daun pepohonan yang tertanam di area GOR. Tidak banyak orang yang berolahraga di sana. Karena umumnya mereka hanya melihat-lihat fasilitas yang ada serta mengambil gambar dengan latar belakang salah satu gedung atau lapangan olahraga disana atau bisa juga dengan patung replika Ken Arok.
Aku sendiri sedang berkumpul dengan klub marathonku yang baru disini. Aku bergabung dengan klub marathon tersebut baru kemarin dan atas saran dari Ganesh. Saat itu aku meminta kepada Ganesh untuk memberitahuku klub olahraga mana yang paling baik di daerah Malang khususnya dalam olahraga marathon. Lalu Ganesh menyarankan aku untuk ikut klub ini. Jadilah aku harus ikut latihan dengan klub ini di GOR setiap akhir pekan.
Sebelum pulang aku menyempatkan diri berkeliling di area GOR. Melepas penat dengan mencari udara segar dan melemaskan kaki. Aku baru saja sadar kalau aku berjalan sendirian sampai ke depan lapangan tenis. Di sana lebih ramai. Aku mendapati beberapa teman sekolahku yang aku kenal berada di sana. Sepertinya mereka sedang latihan rutin. Beberapa dari mereka sedang bermain tenis berpasangan dengan salah satu rekan mereka. Beberapa juga sedang bergurau sambil memakan gorengan dengan pelatih mereka. Aku mengenal pelatih mereka. Namanya Pak Hassan. Beliau cukup berpengalaman dan pribadinya ramah.
Tiba-tiba aku melihat sosok perempuan bertubuh jangkung yang aku kenal di pojok lapangan. Berdiri dan menyandarkan punggungnya ke tembok pembatas halaman. Ia mengikat rambut panjangnya yang hitam lebat dan mengapit sebuah botol minuman di antara lututnya. Aku tidak berlebihan jika harus mengatakan bahwa ia terlihat sangat cantik. Ada sesuatu dorongan dalam batin yang memperintahkan aku untuk menyapanya. Maka, dengan perlahan aku pun mendekatinya.
“Alo?”
Entah memang tak terdengar olehnya sapaanku ataukah hanya pura-pura tak mendengar, ia tetap tidak bergeming dari posisinya. Bersandar di tembok dengan pandangan mata kosong ke depan. Sebelah tangan menggenggam botol minuman yang sebelumnya diapitkan di kedua lututnya. Aku pun memanggilnya dengan lebih keras.
“Aisha?”
Aku menangkap ekspresi keterkejutan yang dibuat-buat saat akhirnya Aisha menoleh kepadaku. Tetapi kemudian ia tersenyum dan balik menyapaku.
“Dean, Ya? Sedang apa? Hehe. Sendirian?” Aisha berbasa-basi.
“Actually that’s not really true if I say that I’m alone right now. Haha. There’s you beside me”.
Aisha tertawa lebar. Seolah memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang mungil dan berbaris rapi dengan dibatasi pagar berupa kawat serta karet yang berwarna biru. Aku baru menyadari saat itu Aisha mulai memakai behel. Aku rasa kemarin saat aku pertama kali bertemu dengannya di sekolah ia tidak memakai behel. Giginya terlihat cukup rapi saat itu. Namun, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya. Behel membuatnya semakin cantik.
“Suka tennis?”
“Suka. Tadi baru saja selesai latihan. Minggu depan aku ada pertandingan di Surabaya.” kata Aisha membanggakan dirinya.
Aku mengangguk paham. Aku kagum saat mengetahui ia akan mewakili sekolah untuk mengikuti lomba cabang olahraga tenis putri tingkat provinsi. Yah, setidaknya untuk seseorang seperti Aisha yang baru ku kenal kemarin. Aku tidak pernah mengira Aisha yang sebelumnya terkesan feminism adalah seorang petenis handal yang tangguh dan pekerja keras. Info ini aku dapatkan dari Nora, teman satu klub Aisha yang tiba-tiba ikut nimbrung dengan kami. Sayangnya tidak lama Nora pamit pulang.
“Gerimis”, kata Aisha.
Aku memandang langit yang menaungi kami. Atmosfer yang terselubungi awan hitam berlapis-lapis seolah tidak tahan lagi untuk segera menurunkan ribuan liter air hasil kerja keras si bintang terbesar di tata surya dengan menguapkan genangan air yang kita sebut sebagai samudera. Perlahan gerimis kecil pun datang mengeroyok tubuh letih kami. Aisha dengan sigap menggandeng tanganku dan menarikku ke tempat berteduh. Jujur, aku suka caranya menggenggam tanganku. Hehe.
“Kamu mau pulang?” aku menanyakan ini karena memang teman-teman satu klub Aisha yang lain satu per satu mulai pulang meninggalkan GOR.
“Rumahku agak jauh. Mungkin aku akan menunggu hujan reda dulu”.
“Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu pulang”, tawarku.
“Jangan deh aku kasihan sama kamu”.
Aku tertawa,”Ayolah. Tidak apa. Sebelumnya aku akan mengajakku mampir ke rumahku dulu”.
Aisha akhirnya menyetujuinya. Aisha membereskan barang-barangnya. Kami kemudian berjalan ke area parkir dan bersama menaiki mobil fortuner putihku. Aku memberikan jaket merahku pada Aisha. Sepertinya ia kedinginan. Aku lalu memacu mobilku membelah hujan di jalan menuju kawasan perumahan Ciputra. Aisha di jok samping kemudi sedang merapatkan jaketku yang melekat di badannya, memakai sabuk pengaman, dan tertidur. Haha. Serius! Dalam keadaan tertidur pun dia tetap terlihat cantik.
***
3. Rumah Dean
Aku masih tertidur saat mobil yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang sangat megah bertingkat 3 dengan cat tembok warna putih dan pagar besi warna hitam yang menjulang tinggi. Setidaknya tidak lebih tinggi dari pepohonan yang tertanam di halaman depannya. Aku juga masih tertidur saat tubuh basah kuyupku digendong masuk ke dalam rumah tersebut oleh Dean. Aku tidak punya daya untuk membuka mataku karena saat itu aku juga merasakan sedikit pening di kepalaku.
Saat aku bangun, waktu menunjukkan pukul 2 siang. Aku terbangun dan mendapati tubuhku sedang rebah di sebuah tempat tidur di dalam kamar yang mungkin adalah kamar Dean. Dean sendiri sedang duduk di ranjang yang sama denganku. Ia menyandarkan punggungnya di tembok sembari membaca buku pelajaran fisika.
“Ah, sudah bangun?” Dean bersuara.
Aku mengangguk. Lantas menguap. Aku mengedarkan pandangan ke seisi kamar Dean. Kamarnya sangat luas. Luasnya bisa saja tiga kali lipat kamarku. Tercakup di dalamnya juga ruang belajar, perpustakaan kecil, kamar mandi, dan studio musik. Semua hiasan interior, ornament di dinding, dan furniture nya berlatar belakang Inggris. Entah itu, lambing negaranya, benderanya, tokoh-tokoh terkenal, ataupun kutipan-kutipan kata terkenal berbahasa Inggris.
“You’re just get fever”, Dean menempelkan punggung tangannya pada dahiku.
“Ah, masa? Kan cuma kehujanan sebentar”, aku ikut-ikutan menempelkan punggung tanganku ke dahi. Tapi ternyata memang benar. Aku demam.
“Iya. Aku demam. Maaf, Ya? Jadi ngerepotin”, aku bangkit dan duduk di samping Dean tapi tetap di atas ranjang tempat tidur.
Aku menguap lagi. Saat aku membuka selimut yang menutupi tubuhku. Eh?! Kenapa aku memakai sweater putih dan celana panjang hitam. Aku langsung berteriak. Aku secara refleks menjauh dari Dean. Aku berdiri dan bersandar di tembok kamar Dean dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
“Dean!!!” aku marah.
Dean memasang ekspresi wajah yang kebingungan. Mulutnya menganga. Aku menatapnya dengan sorot mata tajam.
“Ada apa?” tanya Dean dengan lugunya.
“Kamu mengganti bajuku!” aku berteriak dengan kasar.
Dean tertawa. Mungkin dia telah menyadari apa yang aku maksudkan. Dia menutup buku fisikanya. Dengan tenang ia bangkit dari tempat tidur dan mengembalikan buku fisika tersebut di salah satu rak perpustakaan pribadinya. Lalu, ia menghampiriku perlahan.
“Maaf kalau kamu salah paham. Tapi memang bukan aku yang mengganti bajumu. Bi Maruli yang kuminta untuk menggantinya. Aku tidak mungkin membiarkan kamu tidur di kamarku jika kamu masih memakai baju yang basah. Aku juga tidak ingin membangunkanmu. Kau demam”, jelas Dean.
Dean mengulurkan tangan kanannya padaku. Melihat ekspresinya yang benar-benar menampakkan ekspresi wajah tak bersalah, maka aku pun luluh. Aku mengangguk untuk memberikan kesan pemahaman.
“Ayo, ku antar ke bawah. Mama menjanjikan semangkuk sup asparagus dan susu almond jika kamu sudah bangun”, Dean masih mengulurkan tangan kanannya.
Aku mengambil napas panjang lantas meraih sebelah tangan Dean tersebut. Dituntunnya tubuhku ke luar kamar dan turun dari lantai tiga ke lantai dasar rumahnya dengan menggunakan tangga. Keluar dari kamar Dean, suasananya langsung berubah drastis. Tak kutemukan lagi sesuatu dengan embel-embel Inggris. Semua hiasan interior, furniture, dan lainnya bertemakan alam. Warna biru, hijau, dan putih yang paling dominan.
***
4. Aku Benci Indonesia
“Ayo dimakan. Kamu cantik hehe. Siapa namamu tadi? Semeru, Ya?”
Mama Dean duduk di kursi sebelahku. Jadi aku diapit oleh dua orang, Dean dan mamanya yang biasa dipanggil 'Mama Eca'. Singkatan dari kata Sesalia pada nama tengahnya. Belakangan aku juga tahu, Papa Dean biasa dipanggil 'Papa Eja'. Singkatan dari kata Rezza pada nama depannya.
“Rinjani, Ma, bukan Semeru. Ada-ada aja”, Dean menimpali.
Aku dan mama Dean ikut tertawa. Mama Dean lalu mengingatkan Dean kalau umurnya memang sudah hampir separuh abad. Jadi harus maklum kalau ada salah kata. Dean mengiyakan. Aku kembali menikmati sup asparagus ku. Kini hanya ditemani Dean karena mamanya harus meninggalkan ruang makan untuk menerima telepon. Sepertinya urusan bisnis.
“Enak!” aku mengomentari sup buatan mama Dean yang sudah ku habiskan hingga tetes terakhirnya.
Dean tertawa. Lesung pipitnya menjorok semakin dalam.
“Masih banyak kok kalau kamu mau nambah. Bawa pulang juga gapapa sekalian sama pancinya.”
“Makasih. Tapi kalau panci, aku juga punya banyak di rumah.”
Dean tertawa lagi.
“Umm… Oh ya, apa arti namamu? Aisha Cempaka Rinjani.”
Gantian aku yang tertawa. Kutanyakan pada Dean alasannya menyakan itu padaku. Lalu dia menjawab bahwa namaku unik itu saja dan dia ingin tahu maksudnya. Aku kemudian bergumam dan memutar bola mataku. Membuat ekspresi yang seolah menyatakan bahwa aku sedang berpikir keras. Ingin sebenarnya aku menggoda Dean dengan mengatakan hal ini adalah rahasia pribadiku. Tetapi akhirnya aku menceritakan kepadanya.
“Aisha Cempaka Rinjani. Aisha itu artinya perempuan. Cempaka itu nama bunga. Kalau Rinjani itu nama gunung. Jadi maksudnya, seorang wanita yang mengharumkan seperti bunga dan memberikan kejayaan setinggi gunung rinjani.”
“Ah, I see. That’s so cool. But, why must as high as Rinjani? There are many mount that is higher than Rinjani.”
Dean cengengesan. Aku langsung cemberut. Ku cubit lengan kirinya. Dia meringis. Aku bisa merasakan cubitanku cukup menyiksa untuknya.
“Tapi kan gak lucu kalau namaku Aisha Cempaka Kerinci atau Aisha Cempaka Puncak Mandala atau bla bla bla.”
“Siapa bilang? Kerinci lucu kok. Sayangnya telinga mu pendek.”
Ku cubit lengan Dean lagi. Ku tatap kedua mata birunya dan ku acungkan jari telunjukku persis di depan hidung mancungnya. Ku ancam dia jika dia berani mengejekku lagi. Lalu dia sesenggukan seolah sedang menangis. Badanku pun gemetar karena tawa.
“Gantian aku yang tanya sekarang. Kenapa kamu suka sekali sama Inggris?”
“Dia banyak bantu aku masang baut waktu aku mau benerin apa-apa.”
“Itu kan kunci inggris! Ih serius deh. Tadi kan aku juga jawab serius.” aku meneriakki Dean.
“Hehe. Iya maaf Aisha sayang. Umm. Tapi aku bingung jawabnya.”
Aku hampir tersedak saat meminum air di gelas ketika Dean menambahkan kata sayang setelah menyebut namaku. Untuk menyembunyikan salah tingkahku, aku berpura-pura membenarkan posisi dudukku. Dean mulai bersuara. Tidak mengacuhkan kata-kata yang asal keluar dari mulutnya. Aku harap dia tidak mengetahui pipiku mulai menampakkan rona merah di permukaannya.
“Inggris sudah mendarah daging dalam diriku. Mungkin itu. Atau karena aku benci Indonesia. Apakah kau sudah tahu? Aku ingin menjadi seorang atlet. Dan karier seorang atlet disini buruk. Mereka lebih menghargai selebritis yang hidup bergelimangan harta itu daripada kita yang bercucuran keringat demi mengharumkan nama bangsa, percuma. Jadi aku lebih memilih menjadi atlet di Inggris dan membela Inggris. Saat lulus nanti, aku akan kuliah di sana.”
Tidak ada ekspresi. Hanya dia berbicara saja. Seolah sudah kebal dengan semua respon yang nantinya akan dihadapinya saat dia kembali menjawab pertanyaan yang merujuk pada alasan mengapa dia menyukai Inggirs. Aku kagum sungguh. Dengan semua penuturannya. Namun sekaligus gusar saat dia mengatakan ‘aku benci Indonesia’. Sayangnya negeri ini menganut faham demokrasi. Setiap orang bebas berpendapat. Berdasarkan hati nurani mereka sendiri.
“Tapi kamu lahir dan besar di Indonesia. Hanya darah kamu saja yang sedikit mengandung darah Inggris. Sudah sepatutnya kamu lebih mencintai tanah kelahiranmu sendiri. Berjuang untuk tanah airmu sendiri. Kalau orang tidak menghargai usaha kita, biarlah. Tuhan yang akan ganti menghargainya.”
Dean diam.
“Ah kamu hanya sedang menyembunyikan tujuan sebenarnya dari perkataan kamu tadi. Kamu pasti mau melarangku kuliah di Inggris.”
Aku langsung menyanggah,”Tidak! Kenapa bisa begitu?”
“Iya, soalnya kalau aku jauh dari kamu. Kamu pasti kangen.”
Ah! Dean menggombal. Aku cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau pulang.”
“Gak boleh. Kamu belum sembuh.” Dean menempelkan jemarinya yang putih panjang pada dahiku.
Aku menunduk. Sempat aku berpikir tentang apa yang ku rasakan. Ku tanyakan pada diriku sendiri. Apa bedanya malu dan salah tingkah itu? Lama aku menunduk. Sampai Dean memegang daguku dan mendongakkan kepalaku. Wajahnya kini sejajar dengan wajahku. Ia menatapku dengan tanpa ekspresi tidak lupa mata birunya yang tampak berkilauan. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu atau apa. Hatiku berdebar. Aku ingin berada di posisi ini lebih lama. Aku tidak tahu alasannya. Sayangnya Dean kemudian bangkit dan meraih kunci mobil di ujung meja. Dia akan mengantarkanku pulang.
“Dean!” panggilku.
Dean menoleh,”Ya?”
“Bajuku.”

“Masih dicuci. Besok ku kembalikan.”
***


Bersambung.
by Owner : Puspita Tanjung, contact me on, Line : tanjgp . Thank you :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar