1.
Deantthe Mahuru
Aku
memainkan pulpen di jemari tangan kananku. Sembari sibuk memikirkan
jawaban soal terakhir pr bahasa indonesiaku. Komang yang duduk di sebelahku
juga sedang sibuk. Menanam matahari dan repeater di dalam game Plant vs Zombie
yang ia mainkan di smartphone miliknya. Game virtual bertema pertarungan tanaman dengan
zombie tersebut memang sedang nge tren di kalangan teman sekelasku selain game COC dan Death
Trigger. Tapi aku tidak begitu mengerti tentang permainan-permainan tersebut.
Aku bukan tipe orang yang terlalu menggilai game.
“Wah,
tidak biasanya, ya. Ibu Tris datang terlambat. Ini sudah lewat 20 menit sejak
bel masuk berdering”, Komang mulai bersuara. Ia mematikan smartphone nya dan
mengalihkan pandangan ke pintu kelas.
“Ah,
mungkin sedang ada rapat guru, Bli. Atau memang sedang ada kepentingan dan
tidak masuk. Memangnya kenapa?” aku masih telaten menulis jawaban soal pr-ku
yang sangat panjang.
“Tidak
biasa saja. Beliau kan jarang terlambat masuk kelas. Beliau juga jarang absen”.
Aku
mengangguk menyetujui pernyataan Komang. Bu Tris, guru bahasa Indonesia
sekaligus wali kelas kami itu memang sangat displin dan selalu memperhatikan
waktu. Ia jarang meninggalkan kelas atau tidak masuk kelas kecuali jika ada
kepentingan yang benar-benar serius atau jika ia sedang jatuh sakit. Aku pun
merapikan buku tugasku yang telah kuselesaikan semua soal-soalnya.
Seketika
kelasku yang semula ramai mendadak hening. Terdengar suara langkah kaki dari arah
lorong depan kelas kami. Kami pun segera menyiapkan pelajaran bahasa Indonesia
yang akan berlangsung saat Aji yang duduk paling dekat dengan pintu kelas memberitahu bahwa Bu Tris
telah datang.
“Assalamualaikum.
Selamat pagi semuanya”, sapa Bu Tris ramah.
Kami
menjawab salam dan sapaan dari Bu Tris. Bu Tris datang dengan diikuti seorang
anak laki-laki bertubuh jangkung yang berjalan mengekor di belakangnya. Seragam anak itu
agak sedikit berbeda dengan seragam yang kami kenakan. Rupanya dia adalah siswa
baru yang masuk ke sekolah ini dan ditempatkan di kelas kami, kelas XI MIA 7.
Anak
lelaki itu memiliki rambut hitam lurus yang terkesan berantakan. Ia berhidung
mancung dan berkulit putih pucat sama sepertiku. Matanya biru dan senyumnya
manis. Sangat manis ditambah dengan lesung pipit yang membuat hati seluruh
teman perempuan dikelasku meleleh saat melihatnya.
“My
name is Deantthe Mahuru. Kalian bisa panggil aku Dean. Aku pindah baru seminggu
yang lalu dari Jakarta. My old house was in Pancoran, Jakarta Selatatan. Now, I
live in Ciputra housing, Sawojajar. My mother name is Inggrit Sesalia
Preechaya. My father name is Rezza Mahuru. Oh ya, Aku juga punya kakak laki-laki
namanya Rain Rayas Mahuru. Panggilannya 'hujan'. Hobiku berolahraga. Semua
olahraga aku suka, tetapi aku paling suka marathon. Umm, and also I like
England very much. Kakekku seorang pelari marathon kebanggaan Inggris. Suatu
saat aku juga akan menjadi seperti beliau . Umm, kurasa cukup.”
Bu
Tris mengomando kami untuk bertepuk tangan seusai Dean memperkenalkan dirinya
dengan panjang lebar barusan. Kami pun langsung bertepuk tangan. Setelah itu Bu
Tris meminta kami untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada Dean yang
dimaksudkan agar kami bisa mengenalnya dengan lebih dekat. Tak
tanggung-tanggung semua teman perempuan di kelasku langsung memberondongi Dean dengan
beberapa pertanyaan yang kian lama makin nyeleneh, seperti; “Rumah Dean di
perumahan Ciputra sebelah mana?”, “Dean suka makan spagetthi nggak?”, “Dean
suka tipe cewek yang kayak gimana?”, Dean sudah punya pacar belum?”. Pertanyaan
terakhir membuat Dean agak sedikit kikuk. Tetapi akhirnya Dean menjawab,”Belum.”
“Wah
dia belum punya pacar.” Kata Ganesh yang duduk tepat di belakangku. Ganesh
menyikut punggungku. Seperti mengode agar aku mencoba untuk mendekati Dean.
Ganesh juga salah satu teman curhatku selain Komang yang merupakan sahabatku
dari kecil. Ganesh tahu kalau selama ini aku belum pernah barpacaran dengan
siapa pun. Dan selama ini aku belum pernah benar-benar menemukan seseorang yang
karakternya benar-benar pas denganku untuk dijadikan pacar.
“Aku
belum tahu sifatnya”, sergahku pada Ganesh sembari tersenyum malu-malu.
“Berarti
kalau sudah tahu sifatnya mau dong?” Ganesh menggoda lagi.
“Mau
aja. Hihi. Asalkan dia bukan playboy seperti kamu, Nesh!” Aku menyindir Ganesh.
Ganesh pun tertawa.
“Sudah! Kalian ini kok malah ribut sendiri”, Komang menyela.
Aku
dan Ganesh langsung diam tetapi masih dengan tawa cekikikan. Di depan, Dean dan
Bu Tris masih berbincang mengenai peraturan kelas. Bu Tris juga memperkenalkan
aku sebagai ketua kelas dan Ganesh sebagai wakilnya. Juga, Arsyi Manggali serta Ferasna Dwisang sebagai sekretaris dan Pragita Ayu serta Lintang Faustina Ega Azalia sebagai bendahara.
Saat
itu entah benar atau tidak. Aku bisa melihat Dean selalu mencuri-curi pandang
ke arahku. Haha, tidak. Mungkin dia sedang memandang ke jendela di sebelah
atasku yang terbuka. Ganesh kembali menykiut punggungku.
“Wah
dewi fortuna sedang berpihak padamu. Dia pasti akan memilih untuk duduk
denganmu.”
Aku
mengalihkan pandangan ke arah Dean.
“Umm,
can I sit beside her?”
Ale?!
Dean menunjuku. Ganesh sekali lagi menyikut punggungku. Seisi kelas
memandangku. Aku bertanya dengan terbata-bata dalam hati ada apa sebenarnya
ini? Aku terdiam dengan mulut menganga. Sementara Dean tersenyum di depan.
“Cie!!!”
seisi kelas langsung menyoraki.
Komang
bersiap pindah. Aku memegangi lengan Komang sambil menatapnya dengan mulut yang
masih menganga. Ganesh langsung berusaha menepis cengkraman tanganku di lengan
Komang. Ganesh bersikeras menyuruh Komang untuk cepat pindah dan duduk dengan
Aji di depan agar Dean bisa segera duduk di sampingku.
Komang
pun pindah dan duduk dengan Aji di depan. Dean berjalan ke arahku diiringi
dengan sorakan dan suitan teman-teman sekelasku. Tentu saja Ganish yang
menyoraki paling keras. Dean duduk di dekatku dan langsung melemparkan senyum
padaku. Ia tidak membawa tas. Bu Tris langsung meminta keadaan untuk
dinormalkan seperti biasa karena sebentar lagi pelajaran akan dimulai.
“Hai?
Umm, kamu Aisha, kan? Si ketua kelas itu?”
Aku
hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman. Aku merasa sedikit tidak
nyaman. Haha. Ataukah mungkin ini yang dinamakan salah tingkah. Aku tidak tahu.
“Hai
bro! Aku Ganesh Keenan Riordan”, Ganesh mengajak Dean berkenalan.
“Oh
ya, Hai! Maaf siapa? Ga-ganas?”
“Ngaco!
Ganesh bukan ganas. Tahu kan Ganesha yang patung gajah orang hindu itu?” Ganesh
tertawa.
“Oh
sorry. I understand. So you’re Hindus?”
“Bukan.
Aku Katolik”.
“Lah?
Haha”, Dean tertawa.
Kemudian
kami sama-sama memperhatikan Bu Tris yang menerangkan tentang kata baku. Aku
memandang sejenak ke jendela di tembok dekat tempat dudukku. Angin semilir
masuk melewatinya. Hembusannya sedikit membuat lembaran kertas-kertas warna
kecil bertuliskan berbagai kata baku di mejaku bergerak-gerak.
“Aisha…
Can I borrow your note?” Dean berbisik di dekat telingaku.
“Ah,
ya. Boleh”.
Aku
buru-buru mengeluarkan buku tulis bergambar Doraemonku di dalam tas di dekat
kakiku. Aku langsung memberikannya
pada Dean. Dean tersenyum dan berterimakasih padaku. Aku mengijinkannya membawa
pulang buku tulisku karena memang aku masih punya banyak buku kosong di rumah.
“Mau
pinjam pulpen?” tawarku.
Dean
menggeleng. Ia mengeluarkan pulpen miliknya dari saku dadanya dan
menunjukkannya padaku sambil tersenyum. Lalu ia segera bersiap untuk mencatat
hal penting tentang kata baku yang sudah diterangkan oleh Bu Tris tadi. Tetapi, saat ia menggoreskan ujung pulpennya ke buku. Tinta dari pulpennya tidak
melekat di lembarannya. Ia menggoreskannya lagi dan lagi dengan sedikit penekanan kuat yang dipaksakan. Kemudian ia pun menyerah. Aku tertawa lalu menyerahkan pulpen milikku
pada Dean. Mungkin sekarang aku sudah bisa nyaman berteman dan dekat dengan
Dean tanpa harus salah tingkah.
“Kamu
sangat pengertian. Terimakasih”.
Sebelum
Dean menulis, ia sempat membalik bukunya dan mengamati cover bukunya yang
bergambar Doraemon. Lalu memandangku.
“Ada
apa?” tanyaku. Aku berpikir bahwa mungkin ia tidak suka Doaremon atau apa.
“Sangat
pengertian ditarik kembali”, Dean tertawa.
“Eh,
kenapa?” aku tertawa. Padahal aku sudah terbang sangat tinggi entah kemana saat
tadi Dean menyebutku sangat pengertian.
“Tolong
tuliskan namaku. Tulisanku jelek”, Dean tertawa lagi.
Dengan
senang hati aku menuliskan DEANTTHE MAHURU, XI MIA 7, B.INDONESIA. Di kolom
identitas di cover buku tulis miliknya. Dean tersenyum melihat tulisanku. Ia
berkata bahwa tulisanku adalah tulisan paling indah di dunia. Tentu saja itu
hanya basa-basi karena aku sudah membantunya menuliskan identitasnya. Tulisanku
tidak jauh berbeda dengan tulisan teman-teman yang lain. Dean pun mulai
mencatat. Dan saat aku amati tulisannya juga tidak terlalu jelek sebenarnya. Tapi
barusan ia memintaku untuk menulsikan namanya karena tulisannya jelek. Aku
tertawa. Dasar Dean.
***
2.
GOR Ken Arok
Lenggang.
Suasana yang tercipta pagi ini saat aku mengunjungi GOR Ken Arok. Cuaca yang
agak sedikit mendung juga disponsori oleh angin kencang berhawa dingin yang
sesekali melintas. Menciptakan suatu gerakan tarian dari sekian banyak ranting
dan daun pepohonan yang tertanam di area GOR. Tidak banyak orang yang
berolahraga di sana. Karena umumnya mereka hanya melihat-lihat fasilitas yang ada
serta mengambil gambar dengan latar belakang salah satu gedung atau lapangan
olahraga disana atau bisa juga dengan patung replika Ken Arok.
Aku
sendiri sedang berkumpul dengan klub marathonku yang baru disini. Aku bergabung
dengan klub marathon tersebut baru kemarin dan atas saran dari Ganesh. Saat itu
aku meminta kepada Ganesh untuk memberitahuku klub olahraga mana yang
paling baik di daerah Malang khususnya dalam olahraga marathon. Lalu Ganesh
menyarankan aku untuk ikut klub ini. Jadilah aku harus ikut latihan dengan klub
ini di GOR setiap akhir pekan.
Sebelum
pulang aku menyempatkan diri berkeliling di area GOR. Melepas penat dengan
mencari udara segar dan melemaskan kaki. Aku baru saja sadar kalau aku berjalan
sendirian sampai ke depan lapangan tenis. Di sana lebih ramai. Aku mendapati
beberapa teman sekolahku yang aku kenal berada di sana. Sepertinya mereka
sedang latihan rutin. Beberapa dari mereka sedang bermain tenis berpasangan
dengan salah satu rekan mereka. Beberapa juga sedang bergurau sambil memakan
gorengan dengan pelatih mereka. Aku mengenal pelatih mereka. Namanya Pak Hassan. Beliau cukup berpengalaman dan pribadinya ramah.
Tiba-tiba
aku melihat sosok perempuan bertubuh jangkung yang aku kenal di pojok lapangan.
Berdiri dan menyandarkan punggungnya ke tembok pembatas halaman. Ia mengikat
rambut panjangnya yang hitam lebat dan mengapit sebuah botol minuman di antara
lututnya. Aku tidak berlebihan jika harus mengatakan bahwa ia terlihat sangat
cantik. Ada sesuatu dorongan dalam batin yang memperintahkan aku untuk
menyapanya. Maka, dengan perlahan aku pun mendekatinya.
“Alo?”
Entah
memang tak terdengar olehnya sapaanku ataukah hanya pura-pura tak mendengar,
ia tetap tidak bergeming dari posisinya. Bersandar di tembok dengan pandangan
mata kosong ke depan. Sebelah tangan menggenggam botol minuman yang sebelumnya
diapitkan di kedua lututnya. Aku pun memanggilnya dengan lebih keras.
“Aisha?”
Aku
menangkap ekspresi keterkejutan yang dibuat-buat saat akhirnya Aisha menoleh
kepadaku. Tetapi kemudian ia tersenyum dan balik menyapaku.
“Dean, Ya? Sedang
apa? Hehe. Sendirian?” Aisha berbasa-basi.
“Actually
that’s not really true if I say that I’m alone right now. Haha. There’s you
beside me”.
Aisha
tertawa lebar. Seolah memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang mungil dan
berbaris rapi dengan dibatasi pagar berupa kawat serta karet yang berwarna biru.
Aku baru menyadari saat itu Aisha mulai memakai behel. Aku rasa kemarin saat
aku pertama kali bertemu dengannya di sekolah ia tidak memakai behel. Giginya
terlihat cukup rapi saat itu. Namun, aku sama sekali tidak mempermasalahkannya.
Behel membuatnya semakin cantik.
“Suka
tennis?”
“Suka.
Tadi baru saja selesai latihan. Minggu depan aku ada pertandingan di Surabaya.”
kata Aisha membanggakan dirinya.
Aku
mengangguk paham. Aku kagum saat mengetahui ia akan mewakili sekolah untuk
mengikuti lomba cabang olahraga tenis putri tingkat provinsi. Yah, setidaknya
untuk seseorang seperti Aisha yang baru ku kenal kemarin. Aku tidak pernah
mengira Aisha yang sebelumnya terkesan feminism adalah seorang petenis handal
yang tangguh dan pekerja keras. Info ini aku dapatkan dari Nora, teman satu
klub Aisha yang tiba-tiba ikut nimbrung dengan kami. Sayangnya tidak lama Nora
pamit pulang.
“Gerimis”,
kata Aisha.
Aku
memandang langit yang menaungi kami. Atmosfer yang terselubungi awan hitam
berlapis-lapis seolah tidak tahan lagi untuk segera menurunkan ribuan liter air
hasil kerja keras si bintang terbesar di tata surya dengan menguapkan genangan
air yang kita sebut sebagai samudera. Perlahan gerimis kecil pun datang
mengeroyok tubuh letih kami. Aisha dengan sigap menggandeng tanganku dan
menarikku ke tempat berteduh. Jujur, aku suka caranya menggenggam tanganku. Hehe.
“Kamu
mau pulang?” aku menanyakan ini karena memang teman-teman satu klub Aisha yang
lain satu per satu mulai pulang meninggalkan GOR.
“Rumahku
agak jauh. Mungkin aku akan menunggu hujan reda dulu”.
“Kalau
kamu mau, aku bisa mengantarmu pulang”, tawarku.
“Jangan
deh aku kasihan sama kamu”.
Aku
tertawa,”Ayolah. Tidak apa. Sebelumnya aku akan mengajakku mampir ke rumahku
dulu”.
Aisha
akhirnya menyetujuinya. Aisha membereskan barang-barangnya. Kami kemudian
berjalan ke area parkir dan bersama menaiki mobil fortuner putihku. Aku memberikan
jaket merahku pada Aisha. Sepertinya ia kedinginan. Aku lalu memacu mobilku
membelah hujan di jalan menuju kawasan perumahan Ciputra. Aisha di jok samping
kemudi sedang merapatkan jaketku yang melekat di badannya, memakai sabuk
pengaman, dan tertidur. Haha.
Serius! Dalam keadaan tertidur pun dia tetap terlihat cantik.
***
3.
Rumah Dean
Aku
masih tertidur saat mobil yang aku tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang
sangat megah bertingkat 3 dengan cat tembok warna putih dan pagar besi warna
hitam yang menjulang tinggi. Setidaknya tidak lebih tinggi dari pepohonan yang
tertanam di halaman depannya. Aku juga masih tertidur saat tubuh basah kuyupku
digendong masuk ke dalam rumah tersebut oleh Dean. Aku tidak punya daya untuk
membuka mataku karena saat itu aku juga merasakan sedikit pening di kepalaku.
Saat
aku bangun, waktu menunjukkan pukul 2 siang. Aku terbangun dan mendapati
tubuhku sedang rebah di sebuah tempat tidur di dalam kamar yang mungkin adalah
kamar Dean. Dean sendiri sedang duduk di ranjang yang sama denganku. Ia
menyandarkan punggungnya di tembok sembari membaca buku pelajaran fisika.
“Ah,
sudah bangun?” Dean bersuara.
Aku
mengangguk. Lantas menguap. Aku mengedarkan pandangan ke seisi kamar Dean.
Kamarnya sangat luas. Luasnya bisa saja tiga kali lipat kamarku. Tercakup di
dalamnya juga ruang belajar, perpustakaan kecil, kamar mandi, dan studio musik.
Semua hiasan interior, ornament di dinding, dan furniture nya berlatar belakang
Inggris. Entah itu, lambing negaranya, benderanya, tokoh-tokoh terkenal,
ataupun kutipan-kutipan kata terkenal berbahasa Inggris.
“You’re
just get fever”, Dean menempelkan punggung tangannya pada dahiku.
“Ah,
masa? Kan cuma kehujanan sebentar”, aku ikut-ikutan menempelkan punggung
tanganku ke dahi. Tapi ternyata memang benar. Aku demam.
“Iya.
Aku demam. Maaf, Ya? Jadi ngerepotin”, aku bangkit dan duduk di samping Dean
tapi tetap di atas ranjang tempat tidur.
Aku
menguap lagi. Saat aku membuka selimut yang menutupi tubuhku. Eh?! Kenapa aku
memakai sweater putih dan celana panjang hitam. Aku langsung berteriak. Aku
secara refleks menjauh dari Dean. Aku berdiri dan bersandar di tembok kamar
Dean dan menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
“Dean!!!”
aku marah.
Dean
memasang ekspresi wajah yang kebingungan. Mulutnya menganga. Aku menatapnya
dengan sorot mata tajam.
“Ada
apa?” tanya Dean dengan lugunya.
“Kamu
mengganti bajuku!” aku berteriak dengan kasar.
Dean
tertawa. Mungkin dia telah menyadari apa yang aku maksudkan. Dia menutup buku
fisikanya. Dengan tenang ia bangkit dari tempat tidur dan mengembalikan buku
fisika tersebut di salah satu rak perpustakaan pribadinya. Lalu, ia
menghampiriku perlahan.
“Maaf
kalau kamu salah paham. Tapi memang bukan aku yang mengganti bajumu. Bi Maruli
yang kuminta untuk menggantinya. Aku tidak mungkin membiarkan kamu tidur di
kamarku jika kamu masih memakai baju yang basah. Aku juga tidak ingin
membangunkanmu. Kau demam”, jelas Dean.
Dean
mengulurkan tangan kanannya padaku. Melihat ekspresinya yang benar-benar
menampakkan ekspresi wajah tak bersalah, maka aku pun luluh. Aku mengangguk
untuk memberikan kesan pemahaman.
“Ayo,
ku antar ke bawah. Mama menjanjikan semangkuk sup asparagus dan susu almond
jika kamu sudah bangun”, Dean masih mengulurkan tangan kanannya.
Aku
mengambil napas panjang lantas meraih sebelah tangan Dean tersebut. Dituntunnya
tubuhku ke luar kamar dan turun dari lantai tiga ke lantai dasar rumahnya
dengan menggunakan tangga. Keluar dari kamar Dean, suasananya langsung berubah
drastis. Tak kutemukan lagi sesuatu dengan embel-embel Inggris. Semua hiasan
interior, furniture, dan lainnya bertemakan alam. Warna biru, hijau, dan putih
yang paling dominan.
***
4. Aku Benci Indonesia
“Ayo dimakan. Kamu cantik hehe. Siapa namamu tadi?
Semeru, Ya?”
Mama Dean duduk di kursi sebelahku. Jadi aku diapit
oleh dua orang, Dean dan mamanya yang biasa dipanggil 'Mama Eca'. Singkatan dari kata Sesalia pada nama tengahnya. Belakangan aku juga tahu, Papa Dean biasa dipanggil 'Papa Eja'. Singkatan dari kata Rezza pada nama depannya.
“Rinjani, Ma, bukan Semeru. Ada-ada aja”, Dean
menimpali.
Aku dan mama Dean ikut tertawa. Mama Dean lalu
mengingatkan Dean kalau umurnya memang sudah hampir separuh abad. Jadi harus
maklum kalau ada salah kata. Dean mengiyakan. Aku kembali menikmati sup
asparagus ku. Kini hanya ditemani Dean karena mamanya harus meninggalkan ruang
makan untuk menerima telepon. Sepertinya urusan bisnis.
“Enak!” aku mengomentari sup buatan mama Dean yang
sudah ku habiskan hingga tetes terakhirnya.
Dean tertawa. Lesung pipitnya menjorok semakin
dalam.
“Masih banyak kok kalau kamu mau nambah. Bawa pulang
juga gapapa sekalian sama pancinya.”
“Makasih. Tapi kalau panci, aku juga punya banyak di
rumah.”
Dean tertawa lagi.
“Umm… Oh ya, apa arti namamu? Aisha Cempaka Rinjani.”
Gantian aku yang tertawa. Kutanyakan pada Dean
alasannya menyakan itu padaku. Lalu dia menjawab bahwa namaku unik itu saja dan
dia ingin tahu maksudnya. Aku kemudian bergumam dan memutar bola mataku.
Membuat ekspresi yang seolah menyatakan bahwa aku sedang berpikir keras. Ingin
sebenarnya aku menggoda Dean dengan mengatakan hal ini adalah rahasia
pribadiku. Tetapi akhirnya aku menceritakan kepadanya.
“Aisha Cempaka Rinjani. Aisha itu artinya perempuan.
Cempaka itu nama bunga. Kalau Rinjani itu nama gunung. Jadi maksudnya, seorang
wanita yang mengharumkan seperti bunga dan memberikan kejayaan setinggi gunung
rinjani.”
“Ah, I see. That’s so cool. But, why must as high as
Rinjani? There are many mount that is higher than Rinjani.”
Dean cengengesan. Aku langsung cemberut. Ku cubit
lengan kirinya. Dia meringis. Aku bisa merasakan cubitanku cukup menyiksa
untuknya.
“Tapi kan gak lucu kalau namaku Aisha Cempaka
Kerinci atau Aisha Cempaka Puncak Mandala atau bla bla bla.”
“Siapa bilang? Kerinci lucu kok. Sayangnya telinga
mu pendek.”
Ku cubit lengan Dean lagi. Ku tatap kedua mata
birunya dan ku acungkan jari telunjukku persis di depan hidung mancungnya. Ku
ancam dia jika dia berani mengejekku lagi. Lalu dia sesenggukan seolah sedang
menangis. Badanku pun gemetar karena tawa.
“Gantian aku yang tanya sekarang. Kenapa kamu suka
sekali sama Inggris?”
“Dia banyak bantu aku masang baut waktu aku mau
benerin apa-apa.”
“Itu kan kunci inggris! Ih serius deh. Tadi kan aku
juga jawab serius.” aku meneriakki Dean.
“Hehe. Iya maaf Aisha sayang. Umm. Tapi aku bingung
jawabnya.”
Aku hampir tersedak saat meminum air di gelas ketika
Dean menambahkan kata sayang setelah menyebut namaku. Untuk menyembunyikan
salah tingkahku, aku berpura-pura membenarkan posisi dudukku. Dean mulai
bersuara. Tidak mengacuhkan kata-kata yang asal keluar dari mulutnya. Aku harap
dia tidak mengetahui pipiku mulai menampakkan rona merah di permukaannya.
“Inggris sudah mendarah daging dalam diriku. Mungkin
itu. Atau karena aku benci Indonesia. Apakah kau sudah tahu? Aku ingin menjadi
seorang atlet. Dan karier seorang atlet disini buruk. Mereka lebih menghargai
selebritis yang hidup bergelimangan harta itu daripada kita yang bercucuran
keringat demi mengharumkan nama bangsa, percuma. Jadi aku lebih memilih menjadi
atlet di Inggris dan membela Inggris. Saat lulus nanti, aku akan kuliah di
sana.”
Tidak ada ekspresi. Hanya dia berbicara saja. Seolah
sudah kebal dengan semua respon yang nantinya akan dihadapinya saat dia kembali
menjawab pertanyaan yang merujuk pada alasan mengapa dia menyukai Inggirs. Aku
kagum sungguh. Dengan semua penuturannya. Namun sekaligus gusar saat dia
mengatakan ‘aku benci Indonesia’. Sayangnya negeri ini menganut faham
demokrasi. Setiap orang bebas berpendapat. Berdasarkan hati nurani mereka
sendiri.
“Tapi kamu lahir dan besar di Indonesia. Hanya darah
kamu saja yang sedikit mengandung darah Inggris. Sudah sepatutnya kamu lebih
mencintai tanah kelahiranmu sendiri. Berjuang untuk tanah airmu sendiri. Kalau
orang tidak menghargai usaha kita, biarlah. Tuhan yang akan ganti
menghargainya.”
Dean diam.
“Ah kamu hanya sedang menyembunyikan tujuan
sebenarnya dari perkataan kamu tadi. Kamu pasti mau melarangku kuliah di
Inggris.”
Aku langsung menyanggah,”Tidak! Kenapa bisa begitu?”
“Iya, soalnya kalau aku jauh dari kamu. Kamu pasti
kangen.”
Ah! Dean menggombal. Aku cepat-cepat mengalihkan
pembicaraan.
“Aku mau pulang.”
“Gak boleh. Kamu belum sembuh.” Dean menempelkan
jemarinya yang putih panjang pada dahiku.
Aku menunduk. Sempat aku berpikir tentang apa yang
ku rasakan. Ku tanyakan pada diriku sendiri. Apa bedanya malu dan salah tingkah
itu? Lama aku menunduk. Sampai Dean memegang daguku dan mendongakkan kepalaku.
Wajahnya kini sejajar dengan wajahku. Ia menatapku dengan tanpa ekspresi tidak
lupa mata birunya yang tampak berkilauan. Sepertinya dia ingin mengatakan
sesuatu atau apa. Hatiku berdebar. Aku ingin berada di posisi ini lebih lama.
Aku tidak tahu alasannya. Sayangnya Dean kemudian bangkit dan meraih kunci
mobil di ujung meja. Dia akan mengantarkanku pulang.
“Dean!” panggilku.
Dean menoleh,”Ya?”
“Bajuku.”
“Masih dicuci. Besok ku kembalikan.”
***
Bersambung.
by Owner : Puspita Tanjung, contact me on, Line : tanjgp . Thank you :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar